Rabu, 04 Januari 2012

Penutupan Prostitusi




 PROSTITUSI
 A. Latar Belakang 
Para wanita di dalam bisnis seks bekerja di berbagai macam lingkungan atau tempat, termasuk rumah bordil, bar, hotel, dan jalan-jalan.  Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan erotis, seperti misalnya prostitusi, pornografi, saluran-saluran telepon seks, panti pijat, pendamping (escorts), dan penari telanjang. Pekerja-pekerja seks seringkali menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Kenyataannya, bahwa banyak juga pekerja seks yang mempunyai masalah dengan adiksi, yang membuat mereka semakin rawan terhadap penganiayaan, penyakit, dan diskriminasi.

Akan tetapi, kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan agama dilarang di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia.

B. Maksud Dan Tujuan
Pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini mulai banyak anak perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Pelacur ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada pilihan lain, kebanyakan mereka berasal dari ekonomi lemah dengan kesempatan kerja yang kecil banyak yang akan lari ke dunia pelacuran. Kita tidak bisa menyalahkan mereka para pelacur itu karena sistem di Indonesia justru membuat perempuan terjebak dalam kepelacuran itu sendiri.

Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah pandangan orang tentang kegiatan seksual dengan cara menggeser paradigma prostitusi sebagai “perbuatan asosial” kepada “kesenangan seksual” (sexual pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu seks komersialnya karena berkaitan dengan “kesenangan seksual” yang menjadi hak asasi seseorang.

C. Identifikasi Masalah
Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kota-kota  di Indonesia merupakan bukti bahwa paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat.

Pemerintah  justru untuk mengendalikan prostitusi agar tidak merebak lebih luas dan mengurangi dampak sosial bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Intinya, Pemerintah tidak perlu mengatur isu seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah besar bagi kita adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi diberantas , Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa pun dan di mana pun.

Fakta lain adalah produk yang berhubungan dengan seks dapat ditemukan di mana saja dan bahwa sebagian besar orang dapat melihat produk tersebut.

Jika hukum memandang aktivitas ini, yang melibatkan banyak orang, sebagai ilegal, berarti hukum ketinggalan zaman dan harus diubah dan diperbarui. Pemerintah sangat mungkin melakukan penataan terhadap prostitusi. Pemerintah dapat  menjamin mereka yang menjajakan seks untuk memperoleh pemeriksaan kesehatan fisik dan nonfisik. Kewajiban pemerintah adalah memberikan pelayanan kesehatan dan sosial kepada penjaja seks agar mereka terhindar dari konsekuensi keterlibatan mereka dalam kegiatan seks komersial.




PEMBAHASAN MASALAH
A. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah memberi pelayanan sosial seperti ini bukan hanya memproteksi hak perempuan, tetapi mencegah munculnya masalah sosial yang disebabkan prostitusi. Legalisasi prostitusi tidak perlu, tetapi  bagaimana gagasan “dekriminalisasi prostitusi” dapat diwacanakan kepada publik dan diimplementasikan dalam regulasi pemerintah.

Gagasan dekriminalisasi dimaksud adalah memandang prostitusi sebagai suatu isu moral. Jika dua orang dewasa mencapai kesepakatan menyangkut persetujuan mengenai seks, kita sebaiknya tidak memandang persetujuan mereka sebagai tindak kriminal, apa pun alasannya. Apakah kesepakatan itu melibatkan uang atau tidak. Yang perlu dicermati prostitusi dipandang dari dimensi moral, dan pada dimensi inilah pemerintah seharusnya melakukan kajian dan hasilnya didiseminasikan kepada masyarakat. Dengan ini, masyarakat akan termotivasi untuk memberdayakan norma dan nilai agama juga speritualnya dalam mengendalikan atau menghentikan praktik prostitusi secara sistematis melalui sebuah proses jangka panjang.

Padahal maksud didirikannya tempat lokalisasi adalah untuk mengontrol kesehatan PSK, dalam rangka meminimalisir peyebaran penyakit kelamin seperti syphilis, gonorhoa, jengger ayam, dan lain sebagainya.

Selain itu, di tempat lokalisasi, Pemerintah bisa melakukan rehabilitasi social kepada PSK dengan memberikan aneka pelatihan kewirausahaan. Dengan pelatihan ini PSK yang berada di tempat lokalisasiakan tergerak untuk melakukan alih profesi. Dengan ketrampilan yang di dapat selama pelatihan, diharapkan agar para PSK bisa segera mencarinafkah cara-cara yang lebih bermartabat, daripada sekedar menjual diri.

Namum, dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan mulai diterapkanya system demokrasi  liberal dalam pemilihan Kepala Daerah, banyak tempat lokalisasi yang di tutup. Hal ini terkait dengan pemberian otomi daerah yang memungkikan bagi kepala Daerah untuk membuat Perda Pelarangan Pelacuran.

Banyak Pemerentah Daerah yang beranggapan bahwa tempat lokalisasi merupakan wujud dari pemberian legalitas terhadap praktik pelacuran. Anggapan seperti ini menjadi isu sensitive bagi Kepala Daerah yang berasal dari Partai Politik yang Berbasis Agama.

Persoalan mengenai pelecuran dan tempat lokalisasi tidak bisa dipandang dari sudut agama saja. Sudut pandang agama apa pun selalu akan menyatakan bahwa pelacuran adalah tindakan nista yang bergelimpangan dosa. Dengan sudut pandang ini, maka keberadaan tempat lokalisasi juga akan dipahami sama, setidaknya membantu perbuatan nista yang bergelimang dosa.

Menutup tempat lokalisasi dengan maksud untuk menghentikan praktik pelacuran, adalah kebijakan yang kurang tepat. Karena justru dengan penutupan tempat lokalisasi ini, PSK akan mencari tempat praktek baru.
Akhirnya PSK akan mulai tampak merebak memenuhi sudut kota dan menjajakan dirinya secara menyolok.

Ditempat lokalisasi, Kontrol terhadap kesehatan PSK bisa dilakukan secara teratur dan keberadaan PSK sendiri juga bisa terdata secara rapi. Namum, ketika tempat lokalisasi ditutup, dan masing-masing PSK tidak terorganisir lagi, maka control itu menjadi sulit untuk di lakukan. Akibatnya penyebaran penyakit menular seksual akan makin mudah terjadi.

Selain itu, di tempat lokalisasi ada aturanya yang melarang masuk anak di bawah umur . Namun ketika PSK secara sendiri-sendiri menjajakan dirinya secara  terbuka, peluang anak di  bawah umur untuk bisa menikmati hubungan seksual dengan PSK semakin mudah.

Di banyak kota, penutupan tempat lokalisasi ini terlihat tidak efektif dalam rangka membasmi praktik pelacuran. Banyak sebab yang melatarinya.
Pertama karena persoalan dasar yang dihadapi PSK tidak, terselesaikan dengan ditutupnya tempat lokalisasi.

Maraknya prostitusi lebih di sebabkan lemahnya spiritualitas dan keagamaan seseorang, rendahnya ekonomi, pendidikan dan ketrampilan, low enforcement, serta budaya. Kebanyakan PSK berangkat dari motif ekonomi bukan sebagai profesi, yaitu untuk mencari uang guna menutupi kebutuhan hidupnya. Mampukah kebijakan penutupan tempat lokalisasi ini menjawab problem ekonomi para PSK ?

Praktik pelacuran adalah suatu permasalahan sosial yang tidak bisa dipandang hitam putih dengan pendekatan agama atau hukum saja, mengingat persoalan ini secara sosiologi sangat kompleks.

Dosa dan hukuman penjara yang diancamkan,tidak selalu dapat efektif mencegah seseorang untuk tidak melakukan pelanggaran atau pun kejahatan. Tuntutan hidup yang sangat menyudutkan, terkadang membuat seseorang mengabaikan konsekuensi itu.

Kedua, justru dngan penutupan tempat lokalisasi membuat keberadaan PSK bisa terdistribusi rata di tempat-tempat strategis. Mereka bisa berpraktik secara terbuka, atau dengan kedok berbagai usaha.

Hingga sekarang, belum ada seorang pun yang berhasil secara tuntas mendekriminalisasi prostitusi dan mengeliminasi semua masalah yang berkaitan dengan prostitusi. Namun, jika Pemerintah  hanya sebatas melarang kegiatan prostitusi dengan undang-undang dan regulasi lainnya, dengan alasan untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap kebijakan tersebut, hal itu justru akan mendorong terjadinya prostitusi berlangsung secara “bawah tanah”.

Pada tahap berikutnya, prostitusi bawah tanah ini akan mendorong munculnya campur tangan organisasi kriminal terorganisasi (premanisme) maupun korupsi di kalangan penegak hukum, dan muncul masalah sosial lainnya. Dan sayangnya, tidak ada lagi instansi yang sanggup mengontrol kesehatannya. Akibatnya jelas, penyebaran penyakit kelamin semakin mudah dan meluas. Sekarang sudah saatnya semua pihak, termasuk birokrat, peneliti, akademisi, agamawan, dan praktisi, duduk bersama dan menemukan solusi efektif untuk menyelesaikan masalah prostitusi. Melakukan pendekatan secara manusiawi,  Kita tidak perlu menangani isu ini dengan sikap yang terlalu emosional.

B. Bentuk Penanganan
Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi, seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan.

Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka.

Landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam melakukan penertiban terhadap para perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan Daerah. Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar suaranya, khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya penting didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas praktik prostitusi dengan segala eksesnya.

banyak kalangan berpandangan cenderung diskriminatif dan bias kelas, karena yang menjadi sasaran Penutupan lokalisasi  dengan alasan mengentaskan wanita tunasusila menuju kehidupan yang bermartabat, menolak segala bentuk perzinaahan dan kemaksiatan, serta menata kota bersih dari asusila .Sementara di diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa “diatur”. Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu, bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia berbuat baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing yang benar, dan di beri pecerahan ini adalah tugas kita semua masyarakat, pemerintah dari para tokoh agama, bukan serta merta mengadakan deklarasi penutupan lokaisasi.

Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat “kantung-kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban.

C. Pendekatan Kemanusiaan
Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.

Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda adalah abolisionis yang memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain.

Kedua, penyelesaian persoalan harus sampai ke akar persoalan, holistik, dan integratif. Termasuk memberi penyadaran, mulai dari pola pikir aparat, masyarakat, rohaniwan, sampai sikap dan perilaku bahwa perempuan yang dilacurkan adalah korban. Bersama-sama kita bahu-membahu mencari solusi persoalan, memberi bekal para perempuan yang dilacurkan untuk menopang ekonomi keluarga berupa kemampuan baca - tulis, keterampilan rias wajah, menyamak kulit, menjahit, wirausaha, atau inisiatif lain yang patut dihargai dan didukung.

Ketiga, Penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.

Keempat, Mulai sejak kurikulum pendidikan calon petugas tramtib, penggunaan pola militeristik yang menonjolkan kekerasan harus dihapus. Yang kemudian melakukan penertiban, diharapkan bukan hanya aparat laki-laki, tetapi juga perempuan dengan jumlah proporsional. Jangan kemudian mereka hanya menjadi pelengkap, apalagi “pajangan”. Karena perempuan yang dilacurkan rentan pelecehan seksual, maka perlindungan saksi pelapor juga diperlukan. Kerja sama dan pengawasan ketat bersama pemerintah daerah asal dalam pemulangan juga diperlukan untuk menghindari agar tidak semata-mata menjadi proyek pemulangan saja.

D. Upaya Pendekatan Keagamaan
Adalah baik dan terpuji bahwa masyarakat, khususnya para pelaku dunia prostitusi, diharapkan beriman dan taqwa terhadap Tuhan. Dalam hal ini tidak perlu ada kontroversi. Percaya kepada Tuhan dan taat pada-Nya merupakan sikap manusia yang amat bagus dan aman. Namun hal ini belum tentu betul mengenai omongan tentang iman dan taqwa. Jangan-jangan omongan imtaq menjadi tabir asap untuk menghindar dari menyebutkan masalah-masalah konkret yang ada. Kalau iman dan taqwa hanya berarti, misalnya untuk orang Islam (Pria atau wanita), ingat kepada-NYA hanya saat sedang mengalami kesusahan, tetapi saat senang lupa akan kodratnya sebagai Mahluk ciptaan-NYA yang harus selalu beriman dan mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan dari-NYA. Jadi, seperti di mana-mana iman dan taqwa, itu hanya berguna apabila sikap-sikap yang memang diperlukan, ciri-ciri hukum, yang mau dikembangkan, dijadikan fokus secara eksplisit. Kalau tidak, kita menipu diri dan omongan tentang imtaq malah menjadi hipokrit. Iman dan taqwa harus merupakan sikap batin yang pertama-tama kelihatan dalam cara orang membawa diri terhadap orang lain: Menghormati identitasnya, tidak mengancamnya, adil, tidak menipunya, selalu membawa diri secara beradab, solidaritas nyata dengan mereka yang menderita, lintas golongan, jujur, rendah hati, mampu melihat kelemahannya sendiri. Orang macam itulah yang betul-betul beriman, betul-betul taqwa.

E. Upaya Penghapusan Prostitusi
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan tidak dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan kehidupan manusia sendiri. sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku prostitusi itu dan berupaya untuk menghilangkannya. “Upaya seperti itu adalah tidak mungkin, naif dan ‘absurd’. Namun bukan berarti dengan begitu kita semua dapat membiarkan prostitusi terus berlangsung di sekitar kita.

Pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. “Tapi tidak mungkin pula untuk menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata. Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama. upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.

Diibaratkan, seperti memberi makanan kering kepada orang yang sedang kehausan. Pemerintah bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial, budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian serta menjawab persoalan prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu dapat menekan dan meminimalkan perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat luas dengan tidak selalu menyalahkan perempuan sebagai pelaku dan penyebab prostitusi padahal lelaki yang banyak memanfaatkannya.

A. Kesimpulan
Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.

Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk MELACUR.

B. Saran
Apa pun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan.

Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat dan menbuat rakyat tertindas.

Sanggupkah Pemimpin dan wakil Rakyat melindungi warganya terhadap sergapan korporasi-korporasi  yang besar dan kuat? Atau sebaliknya, para pemimpin – pemimpin dan wakil rakyat  malah melindungi korporasi-korporasi? "Negara centeng" adalah negara yang berpihak pada korporasi dan memberi perlindungan penuh, kalau perlu dengan mengorbankan rakyat dan  Negara, seperti layaknya seorang centeng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar